Terhormat Menjadi Pekerja
Terhormat Menjadi Pekerja
Menjadi seorang pekerja, baik itu buruh pabrik, tukang kuli bangunan, pembantu rumah tangga, dan pekerjaan-pekerjaan semisalnya bukanlah perkara yang terhina dalam pandangan Allah SWT. Islam justru menganggap bahwa pekerjaan-perkerjaan tersebut merupakan di antara usaha (kasb) yang baik. Rasulullah SAW menyatakan dalam sebuah haditsnya: "“Sebaik-baik pekerjaan adalah pekerjaan seorang pria dengan tangannya ” (HR. Ahmad). Bahkan dalam riwayat yang lain Rasululullah SAW menyatakan: “Tidaklah seseorang mengonsumsi makanan yang lebih baik dari makanan yang dihasilkan dari jerih payah tangannya sendiri" (HR.Bukhori).
Lebih dari itu, bekerja merupakan di antara jenis akad yang telah diatur secara terperinci dalam Islam. Baik dari sisi hukum-hukumnya (ahkâmul ijâroh), ataupun dari sisi adab bagaimana memperlakukan para pekerja dengan baik (al-ihsan ilal ajîr).
Rasulullah SAW dan para sahabat adalah sebaik-baiknya contoh bagaimana mereka memperlakukan para pekerja termasuk para pembantunya. Anas Ibnu Malik salah seorang pembantu Rasulullah SAW menceritakan: "Aku menjadi pembantu (khadim) Rasulullah SAW selama sepuluh tahun, demi Allah Rasulullah SAW tak pernah sekalipun mengatakan kepadaku kata "ah" (uff), dan tak pernah beliau mengatakan: "kenapa kamu lakukan ini, dan kenapa tidak lakukan itu" (HR. Muslim).
Rasulullah SAW sendiri sangat memuliakan tangan-tangan kasar para pekerja. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa Rasulullah SAW bertemu dengan salah seorang sahabatnya. Ketika beliau menyalaminya, beliau mendapati tangannya sangat kasar, lalu beliau bertanya: "apa yang membuat tanganmu bengkak-bengkak dan kasar seperti ini..?" Sahabat itu menjawab: "karena aku bekerja wahai rasulullah". Kemudian beliau mengangkat kedua telapak tangan orang tersebut di hadapan para sahabat lainnya, lalu beliau mencium keduanya, serta mengibarkannya seperti bendera, kemudian dengan bangga Rasulullah memujinya: "kedua telapak tangan ini sangat dicintai Allah dan Rasulnya"..
Kisah senada dimuat oleh al-Imam as-Sarkhosiy dalam al-Mabsut, yang menceritakan bahwa Rasulullah SAW suatu saat menyalami Sa'ad Ibnu Mu'adz. Beliau mendapati kedua telapak tangannya pecah-pecah, lalu beliau bertanya akan penyebabnya. Sa'ad menjawab: "Itu karena aku sering pegang tali dan skop, agar aku dapat memberi nafkah bagi keluargaku". Mendengar itu Rasulullah pun lekas menciumnya lalu berkata: " Kedua telapak tangan ini amat dicintai Allah SWT". (al-Imam as-Sarkhosiy, al-Mabsut, Juz 7, hal. 632).
Takzim seperti ini dapat kita lihat pula dalam kisah para nabi bagaimana mereka memperlakukan para pembantunya. Di antaranya kisah Nabi Musa bersama pembantunya (fatâhu) dalam surat al-Kahfi. Allah SWT berfirman: "Maka ketika mereka telah melewati (tempat itu), Musa berkata kepada pembantunya: "Bawalah ke mari makanan kita, sungguh kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini" (QS. al-Kahfi: 62). Dalam percakapan tersebut, tampak bahwa Nabi Musa AS tidaklah memosisikan dirinya lebih tinggi dibanding pembantunya, meski beliau adalah seorang nabi yang berbicara dengan seorang pembantu. Hal ini dapat kita lihat dalam penggunaan kata ganti jamak dalam lafadz ghodâanâ (makanan kita) dan lafadz safarinâ (perjalanan kita). Uslub yang sama juga digunakan oleh pembantu beliau sebagaimana kita lihat dalam ayat-ayat berikutnya.
Inilah salah satu sisi gambaran hubungan antara ajîr (pekerja) dan mustajîr (majikan) yang seharusnya diwujudkan. Namun sayang, cermin seperti ini tidak lagi dijadikan sebagai panduan dalam kehidupan kapitalis meski mereka mengusung kebebasan dan HAM. Justru kebebasan itulah yang mendorong orang berlaku tidak adil, zalim, bertindak sewenang-wenang terhadap para pekerjanya, bahkan memperbudak mereka sebagaimana kita saksikan saat ini. Wallahu a'alam